Sabtu, 24 November 2012

JERMAN MENEMPATKAN PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI LUAR BIASA


JERMAN MENEMPATKAN PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI LUAR BIASA

Goethe Universität Frankfurt am Main


Jerman menempatkan pendidikan sebagai investasi yang luar biasa penting untuk masa depan bangsanya. Sebagai negara industri, ia menyadari negerinya yang minim bahan mentah dan sangat membutuhkan tenaga yang terdidik dan terlatih dengan baik, agar mampu menghasilkan produk-produk teknologi unggulan yang laris di pasaran.

Sesuai dengan undang-undang dasar setiap warga Jerman berhak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Anggaran bagi sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan di tahun 1993 sebesar 312, 4 Miliar DM; dari jumlah tersebut dana pemerintah pusat 170,7 Miliar DM. Orang tua di sini tidak perlu repot memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk uang sekolah atau uang kuliah anak-anaknya, karena pendidikan di sini bisa dibilang gratis mulai dari sekolah dasar sampai universitas, semuanya (sebagian besar )  ditanggung negara! Orang tua cukup memikirkan uang bulanan untuk makan, buku kos atau kontrakan.





Menyadari betapa besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk dunia ilmu pengetahuan, pemerintah tidak ingin ini menjadi sia-sia. Hasil pendidikan jangan sampai menambah beban baru baginya sehingga Jerman menerapkan paduan yang serasi antara pendidikan dan industri. Tentunya padanan yang serasi ini diharapkan mampu menyumbang manfaat yang besar pula bagi masyarakat. "Besarnya uang yang dikeluarkan untuk pendidikan mesti memberikan hasil dan berguna, karena nantinya masyarakat yang memperoleh manfaat dari industri," kata Sekretaris Jenderal Hochschulrektorenkonferenz (HRK, Konferensi Rektor Perguruan Tinggi), Josef Lange, belum lama ini di Jerman.

Sistem pendidikan yang berlaku tidak sentralistis, tiap negara bagian memiliki kebijakannya sendiri. Berdasarkan undang-undang pendidikan, kewenangan pendidikan menjadi beban bersama antara pemerintah federal dan negara bagian. Negara bagian bertanggung jawab atas sekolah umum, kejuruan atau taman kanak-kanak. Itulah sebabnya mengapa setiap negara bagian memiliki karakteristik tersendiri.

Pendidikan tinggi dibagi dalam universitas dan Fachhochschule (FH, perguruan tinggi yang berorientasi pada praktek). Sebagaimana umumnya universitas, tempat ini menjadi tujuan bagi mahasiswa yang ingin mengkonsentrasikan diri pada ilmu pengetahuan murni dan mendalami teori sampai bidang ilmu paling kecil. Sedangkan Fachhochschule lebih menitikberatkan pada praktek. Dapat dikatakan FH ini mempersiapkan para mahasiswa untuk langsung masuk ke dunia kerja. Secara umum ia menawarkan waktu kuliah yang lebih singkat dibandingkan universitas.

Waktu studi di Fachhochschule mencakup 4 - 5 tahun, sedangkan di universitas berkisar antara sembilan hingga dua belas semester, meskipun dalam kenyataannya melampaui satu hingga dua tahun. Kalau dirata-rata mahasiswa Jerman membutuhkan waktu 6 - 7 tahun untuk menyelesaikan studinya di universitas. Fachhochschule juga menyuguhkan teori dan penelitian, tetapi pelajaran teori dan penelitian pun lebih berorientasi pada kebutuhan praktis. Karena itu, ilmu murni dan subyek langka tidak dipelajari di FH.

Fachhochschule merupakan incaran mereka yang ingin menerapkan belajar dan praktik. Disini terlihat penerapan yang erat antara pendidikan dan industri. "Konsep 'link and match' nyata terlihat pada Fachhochschule," demikian penjelasan Prof. Dr. Gerhard Artmann dari Departemen Biofisika Terapan Julich, yang menjadi bagian dari FH Aachen. Teori-teori yang dipelajari di bangku kuliah ini, penerapan dan pengembangannya akan ditemui dalam dunia industri, sebagaimana yang dilihat Suara Pembaruan di Solar Institute Julich, di mana mahasiswa langsung menerapkan teori dan mempraktikkan bagaimana energi surya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar mobil, atau pun sebagai kebutuhan rumah tangga. Secara keseluruhan mahasiswa Fachhochschule bersikap lebih optimis menggapai dunia kerja setelah lulus. Pada tahun 1993 sebanyak 60 persen mahasiswa FH yakin mendapat pekerjaan di bidang industri atau bisnis. Sekarang ini lebih dari 315 perguruan tinggi tersebar di seluruh Jerman dan terdiri dari 113 universitas, 157 Fachhochschulen serta 45 Perguruan Tinggi Seni dan Musik. Di wilayah bekas Jerman Timur, dimana Fachhochschulen tidak dikenal sebelumnya, sistem pendidikan tinggi mengikuti sistem Jerman bagian Barat. Kini di Jerman bagian timur terdapat 17 universitas, 14 Perguruan Tinggi Seni dan Musik serta 27 Fachhochschulen.

Penyatuan Jerman masih meninggalkan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah Jerman a.I untuk menuntaskan masalah pengangguran. Walaupun demikian diharapkan kerja sama perguruan tinggi dan sektor industri di negara bagian baru terus berkembang melalui pembaruan dunia perguruan tinggi.

Riset
Salah satu kunci keberhasilan pendidikan Jerman adalah perkembangan penelitian atau riset yang dilaksanakan oleh tiga sektor berbeda, yaitu di perguruan tinggi, badan penelitian swasta dan industri.
Perguruan tinggi menjadi tempat tumbuhnya penelitian baru. Di sini penelitian dasar sangat penting artinya bagi penerapan praktis. Dalam melaksanakan pengembangan dan penelitian ilmu terapan, perguruan tinggi bekerja sama dengan lembaga penelitian lain dan laboratorium industri. Hal ini membantu mempercepat peralihan teori ke dalam praktik, sesuai dengan perubahan dan perkembangan jaman. Dengan demikian mereka bisa menjadi semacam perantara dan mitra penting untuk perusahaan kecil dan menengah. Seperti diakui Wakil Direktur Komunikasi Siemens, Hartmut Runge, Siemens mengadakan berbagai riset dan menjalin kerja sama yang erat dengan universitas. "Untuk mengembangkan industri, kami mengalokasi dana secara besar-besaran untuk riset dan pengembangan," katanya. Sementara untuk mengembangkan riset, pemerintah Jerman mendirikan badan penyantun dana. Yang terbesar adalah Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG, Asosiasi Penelitian Jerman) yang menyalurkan dana bagi peneliti Jerman, khususnya bagi peneliti muda. "Memang riset adalah tulang punggung segalanya di sini," ucap Humas DFG Dr. Eva Maria Streiner.

(oleh : Yohanna Ririhena)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar